
Mengapa Film Indonesia
Masih Tertinggal?
Kenapa film Indonesia justru kurang sekali diminati oleh masyarakatnya sendiri? Ada apa dengan film Indonesia? Salah satunya, karena mutu film Indonesia belum baik.
Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi, pernah mengatakan, masyarakat Indonesia tidak pernah mengatakan jelek terhadap film yang kita produksi. Itu bukan budaya ketimuran. Mereka tidak seperti masyarakat Barat yang berani mengatakan terus-terang film jelek atau bukan. Namun, masyarakat kita “menghukum” para pembuat film yang kurang memperhatikan mutu dengan tidak menonton filmnya. Itulah cara penghakiman masyarakat.
Sebaliknya, bila ada film yang bagus, pasti diserbu. Sebut saja film Laskar Pelangi, sebuah film pendidikan yang biasanya diramalkan tidak laku, ternyata laris manis. Film ini ditonton sekitar 4,6 juta orang. Tahun ini muncul beberapa film bermutu yang diserbu penonton seperti The Raid yang ditonton 1,8 juta orang. Kemudian tahun 2012, muncul film bagus seperti Negeri Lima Menara, Soegija dan Perahu Kertas. Penonton ramai-ramai datang ke bioskop untuk menyaksikan film-film bermutu itu.
Kedua, jumlah bioskop di Tanah Air masih terbatas. Film hanya ada di 47 kota/kabupaten dari 498 kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Bahkan, ada 10 provinsi yang tidak memiliki satu pun bioskop. Kota-kota yang memiliki bioskop itu umumnya di Jawa, sedikit di Sumatera. Padahal, penonton terbanyak film Indonesia ada di daerah. Bila saja jumlah bioskop terdapat di hampir semua kota/kabupaten, maka pasar film Indonesia menjadi sangat luas.
Ketiga, film Indonesia juga harus bertarung melawan film impor yang secara fakta jauh lebih bermutu dan menarik, karena didukung sumber daya manusia yang jauh lebih mumpuni, teknologi terkini dan dukungan finansial yang besar. Sudah kalah dalam mutu, film Indonesia juga kalah dalam soal jumlah yang diputar oleh bioskop.Lantas bagaimana menggalang penonton agar mau menonton film Indonesia?
Masyarakat perfilman perlu bekerja lebih keras lagi untuk menghasilkan lebih banyak film bermutu dan menarik untuk ditonton. Jalan untuk itu adalah pendidikan. Di Indonesia hanya ada satu perguruan tinggi perfilman, yaitu IKJ. Perguruan tinggi lainnya umumnya lebih memperhatikan soal broadcasting dan pertelevisian.
Pemerintah sudah saatnya membuat peraturan turunan dari UU Perfilman yang disahkan tahun 2009. Sudah tiga tahun peraturan pemerintah dari UU ini belum dibuat. Bahkan, Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang bertugas mendorong perkembangan perfilman dalam negeri, seperti yang diamanatkan UU Perfilman juga belum dibentuk.
Kita perlu belajar dari negara lain yang ngotot membangun perfilman dalam negerinya, seperti, Korea Selatan, China, Jepang, dan India. Negeri-negeri itu sangat bangga dengan produk filmnya. Kebanggaan itu telah melecut para sineasnya untuk menghasilkan film bermutu. Masyarakatnya membayar dengan menonton film produksi negerinya.
Film-film Korea Selatan mampu bersaing dengan film blockbuster dari Hollywood. China melindungi film produksi negerinya dengan hanya membolehkan 20 judul film impor yang boleh masuk. India sangat selektif dengan film impor. Lantas bagaimana dengan kita? Bersediakah kita mencintai film Indonesia? Inilah pertanyaan untuk kita. Hanya kita yang bisa menjawabnya. (ANM)