top of page

Sejarah Perfilman Indonesia

Sejarah perfilman Indonesia ditandai dengan munculnya film bisu yaitu Loetoeng Kasaroeng yang ditayangkan tahun 1926. Lalu bagaimana dengan awal mula bioskop di Indonesia? Bioskop pertama di Indonesia berdiri pada Desember 1900, di Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat, karcis kelas I harganya dua gulden (perak) dan harga karcis kelas dua setengah perak.

 

Bioskop zaman dulu bermula di sekitar Lapangan Gambir (kini Monas). Bangunan bioskop masa itu menyerupai bangsal dengan dinding dari gedek dan beratapkan kaleng/seng. Setelah selesai pemutaran film, bioskop itu kemudian dibawa keliling ke kota yang lain. Bioskop ini di kenal dengan nama Talbot, sesuai dengan nama pengusahanya. Bioskop lain diusahakan oleh seorang yang bernama Schwarz. Tempatnya terletak kira-kria di Kebon Jahe, Tanah Abang.

 

Sebelum akhirnya hancur terbakar, bioskop ini menempati sebuah gedung di Pasar Baru. Ada lagi bioskop yang bernama Jules Francois de Calonne (nama pengusahanya) yang terdapat di Deca Park. De Calonne ini mula-mula adalah bioskop terbuka di lapangan, yang pada zaman sekarang disebut "misbar", gerimis bubar. De Calonne adalah cikal bakal dari bioskop Capitol yang terdapat di Pintu Air.

 

Bioskop-bioskop lain seperti, Elite di Pintu Air, Rex di Kramat Bunder, Cinema di Krekot, Astoria, Capitol di Pintu Air, Centraal di Jatinegara, Rialto di Senen dan Tanah Abang, Surya di Tanah Abang, Thalia di Hayam Wuruk, Olimo, Orion di Glodok, Al Hambra di Sawah Besar, Oost Java di Jl. Veteran, Rembrant di Pintu Air, Widjaja di Jalan Tongkol/Pasar Ikan, Rivoli di Kramat, Chatay di jl gunung sahari dan lain-lain merupakan bioskop yang muncul dan ramai dikunjungi setelah periode 1940-an.

 

Film-film yang diputar di dalam bioskop tempo dulu adalah film gagu alias bisu atau tanpa suara. Biasanya pemutaran di iringi musik orkes, yang ternyata jarang "nyambung" dengan film. Beberapa film yang kala itu yang menjadi favorit masyarakat adalah Fantomas, Zigomar, Tom MIx, Edi Polo, Charlie Caplin, Max Linder, Arsene Lupin, dll.

 

Teknologi dulu memang belum seperti sekarang ini. Bagi anda penyuka film action, seperti perang di angkasa, perkelahian atau pemboman, tentu saja film bisu sangat tidak menyenangkan. Nah, untuk mengisi kekosongan suara, maka dibuatlah orkes musik. Misalnya, jika adegan film action, maka musik menjadi keras dengan tempo cepat. Jika film beradegan sendu, musik pun menyesuaikan, begitu pula jika adegan romantis, musik malah bisa lebih “menenggelamkan” hati dan perasaan penontonnya. Terkadang, musik dengan film tidak sinkron. Semua itu tergantung trampil atau tidaknya gesekan tangan pemain musik orkes, terutama pemain biolanya.

 

Di Jakarta pada tahun 1951 diresmikan bioskop Metropole yang berkapasitas 1.700 tempat duduk, berteknologi ventilasi peniup dan penyedot, bertingkat tiga dengan ruang dansa dan kolam renang di lantai paling atas.

 

Sinepleks tidak hanya menjamur di kota besar, tetapi juga menerobos kota kecamatan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang memberikan masa bebas pajak dengan cara mengembalikan pajak tontonan kepada "bioskop depan". Akibatnya, pada tahun 1990 bioskop di Indonesia mencapai puncak kejayaan: 3.048 layar. Sebelumnya, pada tahun 1987, di seluruh Indonesia terdapat 2.306 layar.

 

Bioskop Metropole di Kota Jakarta adalah sebuah gedung bioskop bersejarah yang dibangun pada tahun 1932 dengan namaBioscoop Metropool, sesuai dengan ejaan bahasa Belanda pada waktu itu. Sejak tahun 1993, Metropole dimasukkan sebagai cagar budaya oleh gubernur Jakarta. Selain bioskop yang kini dikelola oleh 21 Cineplex group, terdapat pula tempat biliar, tempat cukur, dan beberapa restoran.

 

Dunia perfilman Indonesia pertama kali diawali dengan dibangunnya bioskop pertama dengan nama Bioskop Batavia, pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang. Bioskop ini awalnya menayangkan film, yang pada masa itu disebut dengan ‘gambar idoep’. Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul “Loetoeng Kasaroeng” dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp.

 

Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.

 

Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan menyutradarai Lily van Java (1928) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.

 

Sejak tahun 1931, pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan pertama antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananyaBunga Roos dari Tjikembang (1931) akan tetapi hasilnya amat buruk. Beberapa film yang lain pada saat itu antara lain film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film yaitu Indonesie Malaise (1931).

 

Periode 1942 - 1949

Pada masa ini, produksi film di Indonesia dijadikan sebagai alat propaganda politik Jepang. Pemutaran fil di bioskop hanya dibatasi untuk penampilan film -film propaganda Jepang dan film-film Indonesia yang sudah ada sebelumnya, ehingga bisa dikatakan bahwa era ini bisa disebut sebagai era surutnya prodkusi film nasional. Pada 1942 saja, Nippon Eigha Sha, perusahaan film Jepang yang beroperasi di Indonesia, hanya dapat memproduksi 3 film yaitu Pulo Inten, Bunga Semboja dan 1001 Malam.

 

Periode 1950 - 1962

Hari Film Nasional diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal 30 Maret karena pada tepatnya tanggal 30 Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film Darah & Doa atau Long March of Siliwangi yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Hal ini disebabkan karena film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan Indonesia. Selain itu film ini juga merupakan film pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga diproduksi oleh perusahaan film milik orang Indonesia asli yang bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia), di mana Usmar Ismail tercatat juga sebagai pendirinya.

 

Selain itu pada tahun 1951 diresmikan pula Metropole, bioskop termegah dan terbesar pada saat itu. Pada masa ini jumlah bioskop meningkat pesat dan sebagian besar dimiliki oleh kalangan non pribumi. Pada tahun 1955 terbentuklah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI).

 

Periode 1962 - 1965

Era ini ditandai dengan beberapa kejadian penting terutama menyangkut aspek politis, seperti aksi pengganyangan film-film yang disinyalir sebagai film yang menjadi agen imperialisme Amerika Serikat, pemboikotan, pencopotan reklame, hingga pembakaran gedung bioskop. Saat itu jumlah bioskop mengalami penurunan sangat drastis akibat gejolak politik. Jika pada tahun 1964 terdapat 700 bioskop, pada tahun berikutnya, yakni tahun 1965 hanya tinggal tersisa 350 bioskop.

 

Periode 1965 - 1970

Era ini dipengaruhi oleh gejolak politik yang diakibatkan oleh peristiwa G30S PKI yang membuat pengusaha bioskop mengalami dilema karena mekanisme peredaran film rusak akibat adanya gerakan anti imperialisme, sedangkan produksi film nasional masih sedikit sehingga pasokan untuk bioskop tidak mencukupi. Saat itu inflasi yang sangat tinggi melumpuhkan industri film.

 

Kesulitan ini ditambah dengan kebijakan pemerintah mengadakan sanering pada tahun 1966 yang menyebabkan inflasi besar-besaran dan melumpuhkan daya beli masyarakat. Pada akhir era ini perfilman Indonesia cukup terbantu dengan membanjirnya film impor sehingga turut memulihkan bisnis perbioskopan dan juga meningkatkan animo masyarakat untuk menonton yang pada akhirnya meningkatkan jumlah penonton.

 

Periode 1970 - 1991

Pada masa ini teknologi pembuatan film dan era perbioskopan mengalami kemajuan, meski di satu sisi juga mengalami persaingan dengan televisi (TVRI). Pada tahun 1978 didirikan Cineplex Jakarta Theater oleh pengusaha Indonesia, Sudwikatmono menyusul dibangunnya Studio 21 pada tahun 1987. Akibat munculnya raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan berimplikasi terhadap timbulnya krisis bagi bioskop - bioskop kecil dikarenakan jumlah penonton diserap secara besar-besaran oleh bioskop besar. Pada masa ini juga muncul fenomena pembajakan video tape.

 

Periode 1991 – 1998

Di periode ini perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Selain itu film-film Indonesia didominasi oleh film-film bertema seks yang meresahkan masyarakat. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, serta munculnya teknologi VCD, LD dan DVD yang menjadi pesaing baru.

Bertepatan dengan era ini lahir pula UU No 8 Tahun 1992 tentang perfilman yang mengatur peniadaan kewajiban izin produksi yang turut menyumbang surutnya produksi film.

 

Kewajiban yang masih harus dilakukan hanyalah pendaftaran produksi yang bahkan prosesnya bisa dilakukan melalui surat-menyurat. Bahkan sejak Departemen Penerangan dibubarkan, nyaris tak ada lagi otoritas yang mengurusi dan bertanggungjawab terhadap proses produksi film nasional. Dampaknya ternyata kurang menguntungkan sehingga para pembuat film tidak lagi mendaftarkan filmnya sebelum mereka berproduksi sehingga mempersulit untuk memperoleh data produksi film Indonesia - baik yang utama maupun indie - secara akurat. Pada era ini muncul juga buku mengenai perfilman Indonesia yaitu 'Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia yang terbit pada tahun 1992 dan mengupas tahapan perfilman Indonesia hanya sampai periode 1991.

 

Periode 1998 - sekarang

Era ini dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama yang muncul di era ini adalah “Cinta dalam Sepotong Roti” karya Garin Nugroho. Setelah itu muncul Mira Lesmana dengan “Petualangan Sherina” dan Rudi Soedjarwo dengan “Ada Apa dengan Cinta?” (AADC) yang sukses di pasaran. Hingga saat ini jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat meski masih didominasi oleh tema-tema film horor dan film remaja. Pada tahun 2005, hadir Blitzmegaplex di dua kota besar di Indonesia, Jakarta dan Bandung. Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh kelompok 21 yang selama bertahun-tahun mendominasi penayangan film. (ANM)

 

http://id.wikipedia.org/wiki/Perfilman_Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                                                                                                                                          

 

Page 2

© 2015 by MataMerahPutih. Proudly created with Wix.com

  • w-facebook
  • Twitter Clean
  • w-vimeo
bottom of page